Dessy lestari / 21210848
Juni Erbina Saragih / 23210813
Siti Amanah / 26210579
Yuli Chatrine Castro /28210741
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI INTI DAN KONSEP BISNIS KOPERASI:
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan melakukan pengembangan kompetensi inti dan konsep bisnis koperasi sesuai realitas bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia berbasis ekonomi rakyat. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metodologi kualitatif, yaitu Beyond Structuralism. Beyond Structuralism mensinergikan antropologi strukturalis sinkronis (kontekstual) dan postrukturalis diakronis (masa lalu). Metodologi dijalankan dengan metode Constructivist Structuralism-nya Pierre Bourdieu untuk mengetahui secara empiris (habitus, capital, field dan practice) aktivitas bisnis koperasi di Indonesia. Tahap pertama, teoritisasi antropologis melalui sinergi antropologi sinkronis (realitas bisnis koperasi kontekstual) dan antropologi diakronis (realitas bisnis koperasi fase awal). Tahap kedua, melakukan sinergi keduanya untuk menemukan benang merah konsep kemandirian berbisnis koperasi secara empiris di lapangan Teoritisasi diperlukan untuk merumuskan Konsep Kemandirian Koperasi. Hasilnya, konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktifintermediasi- retail merupakan substansi pengembangan koperasi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang unik. Meskipun perkembangannya saat ini banyak tereduksi intervensi kebijakan dan subordinasi usaha besar. Diperlukan kebijakan,regulasi, supporting movement, dan strategic positioning berkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktifintermediasi- retail yang komprehensif.
Kata kunci: Koperasi ala Indonesia, kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan, ekonomi rakyat, sinergi produktif-intermediasi-retail.
1 Dipresentasikan dalam Diskusi Panel Kajian Koperasi: Peluang dan Prospek Masa Depan. Kementrian
Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Universitas Negeri Malang. 10 Desember 2007.
2 Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi, Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Direktur Lembaga Riset Keuangan Syari’ah Universitas Cokroaminoto Yogyakarta.
1. PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi3,4. Teknologi informasi secara langsung maupun tidak langsung kemudian mempercepat globalisasi. Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin membentuk ”dirinya” yang baru, menjadi Kapitalisme Baru berbasis Globalisasi (Capra 2003; Stiglitz 2005; Shutt 2005). Perkembangan ekonomi inilah yang biasa disebut Neoliberalism. Gelombang besar neoliberalism merupakan puncak pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989. Neoliberalisme saat inipun telah merasuki hapir seluruh sistem perekonomian Indonesia. Bentuk neoliberalisme tersebut dapat dilihat dari bentuk kepatuhan terhadap mekanisme pasar dengan ”inflasi sehat” menurut ukuran makro ekonomi. Neoliberalismejuga dilakukan melalui deregulasi dan liberalisasi/privatisasi kelembagaan. Keduanya berujung integrasi dan liberalisasi perdagangan Indonesia dalam lingkaran global, lintas batas negara-negara5. Di sisi lain, Indonesia setelah memasuki era reformasi melalui amandemen UUD 1945 tetap mengusung asas demokrasi ekonomi. Meskipun demokrasi ekonomi yang dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya penambahan dua ayat (ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan Mubyarto (2003) bahwa pikiran di belakang ayat baru tersebut adalah paham persaingan pasar bebas atau neoliberalisme. Kekeliruan lebih serius dari amandemen keempat UUD 1945 adalah hilangnya kata ”sakral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi kerakyatan atau demokrasi
Pembagian dua arus utama di sini hanya untuk memudahkan penjelasan saja. Keduanya dapat berdiri sendiri, saling memengaruhi, atau salah satu memengaruhi lainnya, sesuatu yang mungkin benar semuanya. Arus teknologi informasi melaju bak Juggernaut (istilah Anthony Giddens dalam melihat perkembangan
yang cepat seperti truk yang melaju kencang tak terkendali) sejak proyek Arpanet menemukan bagaimana melakukan pertukaran pesan dan informasi melalui komputer. Gerakan ini tak pelak berdampak di hamper seluruh sisi peradaban. Mulai pola hidup, dunia bermain anak, hubungan sosial-politik-ekonomi-budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, sistem informasi publik, bahkan sistem pendidikan kita tidak ketinggalan. Tidak ada lagi sisi peradaban yang tak terpola dengan ”buah” teknologi informasi. Buah dari teknologi informasi seperti komputer, internet, alat komunikasi dan lainnya. Deregulasi misalnya lewat UU Migas, UU Listrik, Revisi UU Perpajakan, UU Penanaman Modal, UU Pendidikan, dan lainnya. Liberalisasi misalnya terhadap BUMN, Perguruan Tinggi dan sistem pendidikan lain, pangan, retail, sampai “everything they want”.
ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945. Hilangnya kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha sesuai pasal empat, yaitu diselenggarakandengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi berkeadilan menurut Mubyarto (2003) jelas memiliki kontradiksi sekaligus bernuansa liberalisme. Bagaimana koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan kenyataan sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic positioning” sebagai wadah anggotanya ”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama anggota serta masyarakat, bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk kepentingan masing-masing anggota, atau malah manajer dan atau pengurus koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai impian the founding fathers, menjadi sokoguru perekonomian Indonesia? Apakah jawabannya adalah tekad Dekopin sebagai wadah berkumpulnya koperasi-koperasi dengan Pencanangan Program Aksi Dewan Koperasi Indonesia6 (Dekopin 2006)? Atau dengan salah satu Visi Pembangunan KUKM Kantor Menteri
Negara Koperasi dan UKM berkenaan dengan realisasi 70.000 Koperasi Berkualitas tahun 2009? Banyak sudah program-program prestisius pengembangan koperasi. Koperasi juga tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, “direkayasa”, diupayakan pemberdayaan dan penguatannya. Pendekatan yang dilakukan mulai dari akademis (penelitian, pelatihan, seminar-seminar, sosialisasi teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha, kemitraan, pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan perundang-undangan), kebijakan publik (pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga profesi), sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan perilaku usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada pendekatan sinergis-konstruktif (program
6 Pencanangan program aksi Dekopin terdiri dari program dukungan ketahanan pangan nasional
(pengembangan pupuk organik, pemasyarakatan pupuk majemuk dan pupuk organik, pengembangan tanaman kedelai), program bio energi (pengembangna pembibitan dan penanaman jarak pagar, pengembangan industri bio energi), program perumahan (pengembangan perumahan koperasi sehat sederhana), program keuangan mikro dan koperasi (pengembangan jaringan KSP/USP Swamitra Nusa Madani), program e-commerce Dekopin.
1.1. Permasalahan
Tetapi ternyata, seluruh ”treatment” tersebut sebenarnya tidak menyelesaikan beberapa masalah mendasar koperasi. Pertama, seperti diungkapkan Soetrisno (2002) bahwa ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan tiga pola penitipan kepada program, yaitu pembangunan sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (2) lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; serta (3) perusahaan negara maupun swasta berbentuk koperasi karyawan. Tiga pola tersebut menurut beliau berakibat prakarsa mayarakat kurang berkembang, kalaupun muncul tidak diberi tempat sebagai mana mestinya. Masalah kedua, koperasi, lanjut Soetrisno (2002) juga dikembangkan untuk mendukung program pemerintah berbasis sektor primer dan distrubusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia7. Ketika program tersebut gagal, maka koperasi harus memikul beban kegagalan program. Sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk peneliti dan media massa. Dalam pandangan pengamat internasional (Sharma 1992), Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian.
Ketiga, masalah mendasar koperasi berkenaan prinsip dasar ekonomi. Hatta
(1947, 56) menjelaskan bahwa rantai ekonomi, memiliki tiga rantai utama, yaitu
perniagaan mengumpulkan, perantaraan dan membagikan8. Ketika sistem ekonomi hanya
berputar pada kepentingan perdagangan dan menegasikan kepentingan perniagaan
pengumpulan maupun membagikan, maka yang terjadi adalah penumpukan kekayaan
pada titik perniagaan perantaraan (intermediasi) dan permainan harga yang dominan.
Dampaknya adalah reduksi kepentingan produsen, konsumen, bahkan alam. Bentuk
7 Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian didukung dengan
program pembangunan untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk
mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang selama PJP I, menjadi
ciri yang menonjol dalam politik pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi
melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah,
seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain
sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh).
8 Perniagaan mengumpulkan berada dalam domain ekonomi produksi, perniagaan perantaraan berada
dalam domain perdagangan antara perusahaan besar, sedangkan perniagaan membagikan adalah pertemuan
antara pedagang dan pembeli.
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 4
Ekonomi versi Hatta tersebut, kita sebut saja Ekonomi Natural, sebenarnya mengingatkan
kita bahwa ekonomi jangan hanya dijalankan dengan menekankan mekanisme
perdagangan (intermediasi), dan menganaktirikan produksi (seperti bertani,
pertambangan, berkebun, kerajinan, dan lainnya) serta retail (berdagang eceran).
Ekonomi Natural dengan demikian merupakan ekonomi produktif, intermediasi,
sekaligus pertukaran untuk keseimbangan individu, masyarakat, alam dan akuntabilitas
kepada Allah SWT.
Keempat, data perkoperasian Indonesia sampai tahun 2006, dijelaskan Jauhari
(2006) didominasi oleh Koperasi Fungsional, seperti koperasi karyawan, koperasi
pegawai dan lainnya yang dibentuk dalam lingkungan institusi tertentu baik pemerintah
maupun swasta. Koperasi seperti itu jelas membatasi keanggotaan dan memiliki sifat
stelsel pasif. Biasanya koperasi fungsional merupakan bentuk ekonomi intermediasi
untuk memenuhi kebutuhan anggota, seperti swalayan, klinik, praktik dokter bersama,
dan lain-lain. Koperasi fungsional seperti ini juga memiliki sifat subordinasi. Misal
koperasi karyawan PLN dan AKLI, tujuannya memenuhi kebutuhan penyediaan bahanbahan
produksi PLN. Bahkan menurut Jauhari (2006) bentuk koperasi fungsional sangat
mungkin bertentangan dengan tiga prinsip ICA. Prinsip Pertama, yaitu keanggotaan
sukarela dan terbuka. Kedua, Prinsip Kedua, yaitu kontrol anggota yang demokratis.
Ketiga, Prinsip Keempat, yaitu otonomi dan independen.
Kelima, dari sudut bisnis, keempat masalah koperasi di atas berdampak pada
hilangnya sense untuk melakukan identifikasi apa yang disebut Prahalad dan Hamel
(1990) sebagai kompetensi inti (core competencies). Bisnis koperasi selama ini tidak
dapat mengidentifikasi keunikan dirinya. Koperasi – akibat kemanjaan dan intervensi –
hanya dapat melakukan identifikasi core product. Padahal bila dilihat dari konsep bisnis,
core competencies merupakan "jantung" organisasi atau perusahaan, sedangkan produk
merupakan implementasi dari core competencies tersebut untuk menghasilkan nilai
tambah organisasi bisnis. Core competencies perlu didesain melalui kejelasan visi dan
misi organisasi. Sehingga konsekuensi logisnya pengembangan kompetensi bisnis,
produk sampai sumber daya yang muncul mengarah pada core competencies.
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 5
Berdasarkan beberapa masalah di atas penelitian ini mencoba untuk menjawab
pertanyaan, apakah aktivitas bisnis koperasi memiliki kreasi pemberdayaannya sendiri,
otonom-independen, sesuai mekanisme naturalitas ekonominya, dan memiliki core
competence-nya sendiri? Penelitian ini akan membahas bagaimana mengembangkan
koperasi yang sebenarnya dari realitas masyarakat Indonesia. Pengembangan koperasi di
sini tidak menolak proyek-proyek prestisius untuk kemajuan koperasi. Idealisme koperasi
seperti itu harus tetap dikedepankan sebagai salah satu pemicu semangat agar koperasi
tetap memiliki ruh perjuangan ekonomi rakyat. Tetapi perlu diingat, koperasi harus tetap
sesuai jati dirinya sendiri. Seperti ungkapan mayoritas anggota International Cooperation
Association (ICA) bahwa koperasi akan menjadi yang terbaik bila mereka
menjadi dirinya sendiri.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah, pertama, menggali konsep-konsep genuine
berekonomi dari realitas masyarakat Indonesia; kedua, menempatkan konsep genuine
berekonomi sebagai landasan utama pengembangan bisnis koperasi ala Indonesia; ketiga,
menunjukkan bukti empiris bahwa ternyata masyarakat Indonesia memang memiliki
keunikan tersendiri memahami koperasi; keempat, memberikan masukan konstruktif bagi
pengambil kebijakan perkoperasian dalam pengembangan koperasi ke depan.
1.3. Struktur Isi Artikel
Artikel disusun dalam 6 bagian utama. Bagian pertama, pendahuluan, terutama
menjelaskan tentang latar belakang, masalah, tujuan penelitian dan struktur isi artikel.
Bagian kedua dan ketiga merupakan penjelasan teori yang digunakan. Bagian kedua
menjelaskan mengenai koperasi sebagai operasionalisasi ekonomi rakyat. Bagian ketiga
menjelaskan mengenai konsep core competencies bisnis. Bagian keempat menjelaskan
mengenai metodologi penelitian dan metode yang digunakan untuk melakukan
pengembangan konsep bisnis koperasi. Bagian kelima adalah pembahasan temuan
penelitian. Bagian keenam catatan akhir dan agenda ke depan.
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 6
2. KOPERASI INDONESIA: OPERASIONALISASI EKONOMI RAKYAT
Sarman (2007) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi saat ini hanya diarahkan pada
kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih luas perlu perencanaan tujuan
pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar
pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat
misalnya pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan
budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial dan
budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Mubyarto (2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga tidak harus dikerangkakan
pada teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya
pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu
ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman
pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi masalahmasalah
masyarakat Indonesia dewasa ini.
Logika modernisasi menurut kerangka filosofis kapitalisme berkenaan
pemberdayaan berada pada bagaimana mendekatkan dikotomi antara kepentingan privat
dan publik lewat media kelembagaan (mega structures). Hal ini terjadi karena menurut
Nugroho (2001) Barat mengidentifikasi realitas makro sebagai lembaga bersifat makro,
obyektif serta politis (public sphere) baik berbentuk konglomerasi para pemilik modal,
birokrasi, asosiasi tenaga kerja dengan skala besar, profesi terorganisir, dan lainnya.
Masalahnya mega-structures tersebut cenderung mengalienasi dan tidak memberdayakan
eksistensi individu (privat sphere). Untuk menjembatani hal tersebut diperlukan
intermediasi privat-publik model kapitalisme. Lembaga mediasi (mediating institutions)
di satu sisi memberi makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti publik, sehingga
mampu mentransfer makna dan nilai privat ke dalam pemaknaan struktur makro.
Hanya masalahnya liberalisme yang sekarang berevolusi menjadi neoliberalisme
dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan sampai aksi konkritnya tidak
bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti itu. Seperti dijelaskan di muka bahwa
neoliberalisme telah merasuk ke seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham
liberal menurut Nugroho (2001) lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung
menegasikan bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik sphere. Bahkan lembaga
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 7
intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga sosial-ekonomi termasuk koperasi)
cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere.
Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi
intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere, seperti Koperasi, malah
menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar
mematikan dirinya sendiri secara perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi, misalnya dijelaskan Mubyarto (2002) bukanlah kooptasi dan
pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan
konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat,
sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat.
Bentuk Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti logika modernitas
dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan memiliki
diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau bahkan Barat. Bentuk
koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulatif oleh negara.
Definisi koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang
Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan
hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi
tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi
rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi
dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci,
ekonomi rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat
memerlukan definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
Usulan Arif (1995) untuk memperbaiki ekonomi nasional dengan cara reformasi
sosial yang mendasar, “an effective development state”. “An effective development state”
adalah suatu elit kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku; (1) bebas dari
kepentingan pihak manapun kecuali kepentingan rakyat banyak, (2) bebas dari godaan
untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga dengan menggunakan kekuasaan yang
dipegangnya, (3) mengatur suatu ideologi politik yang memihak rakyat banyak, pro
keadilan, anti penindasan, anti feodalisme, nepotisme dan despotisme, menjunjung tinggi
integritas, menghargai kerja nyata dan “committed” terhadap emansipasi kemanusiaan
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 8
untuk semua orang, (4) tidak melaksanakan pemerintahan negara sebagai suatu “soft
state”, yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak berani melaksanakan tindakan
hukum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat proses transformasi
sosial yang hakiki. Ringkasnya Arif lebih setuju pernyataan Hatta: “ Yang kita inginkan
ialah rakyat yang memiliki kedaulatan, bukan negara yang memiliki kedaulatan”.
3. CORE COMPETENCIES: JANTUNG ORGANISASI BISNIS
Prahalad dan Hamel (1994) mendefinisikan kompetensi inti (core competencies)
sebagai suatu kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi
memiliki positioning agar memberi manfaat lebih efektif untuk pelanggan. Organisasi
mempunyai kompetensi yang perlu (necessary competencies) dan kompetensi yang
membedakan (differentiating competencies). Kompetensi- kompetensi yang perlu adalah
semua kompetensi yang menciptakan nilai, sedangkan kompetensi yang membedakan
adalah kompetensi-kompetensi yang memberi organisasi tertentu atau kelompok
organisasi suatu posisi kompetitif (misalnya penguasaan pasar, reputasi ilmiah).
Hamel dan Prahalad (1994) menjelaskan bahwa suatu organisasi perlu
memperhatikan keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan untuk pengembangan
dan kerja sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk dan jasa yang baru. Dengan
begitu, strategi daya saing pasar masa depan mengharuskan para manajer puncak suatu
organisasi untuk menyesuaikan kompetensi inti organisasi dan strategi serta kerja sama
pengelolaan sumber daya untuk keberhasilannya.
Dalam jangka pendek, lanjut Prahalad dan Hamel (1990), kemampuan kompetitif
perusahaan dikendalikan oleh atribusi kinerja/harga. Tetapi perusahaan yang tangguh di
era kompetisi global ditegaskan tingkat kompetitif perlu menekankan pada differential
advantage. Berikut penjelasannya:
…are all converging on similar and formidable standards for product cost and quality
– minimum hurdles for continued competition, but less and less important as sources of
differential advantage.
Sedangkan jangka panjang, kemampuan kompetitif dikendalikan pada
kemampuan untuk mengembangkan core competencies. Kompetensi inti di sini lebih
mengedepankan:
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 9
Management ability to consolidate corporatewide technologies and production skills
into competencies that empower individual business to adapt quickly to changing
opportunities.
Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama, dalam jangka
pendek memang memiliki sesuatu keunggulan yang dimiliki perusahaan disertai
kemampuan produk; kedua, dalam jangka panjang dikembangkan untuk konsolidasi
dengan kesamaan visi-misi organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan kemampuan dan
ketangguhan dari para penggiat organisasinya. Artinya, kebutuhan setiap organisasi
melakukan bisnis tidak hanya mementingkan differential advantage, karena hal itu hanya
bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi pada produk. Organisasi bisnis agar dapat
menjalankan going concern dan kuat bertahan pada lingkungan yang selalu berubah,
diperlukan core competence yang memiliki keunggulan visioner serta kemampuan
“collective learning” para penggiat organisasinya. Kata kunci core competence agar
dapat menjalankan peran going concern dan adaptif, adalah pada “harmonizing streams
of technology” dan “decisively in services”.
4. METODOLOGI PENELITIAN: BEYOND STRUKTURALISM
Pengembangan bisnis koperasi dalam penelitian ini menggunakan metodologi Beyond
Strukturalism, diadaptasi dari metodologi Hiperstrukturalisme yang dikembangkan
Mulawarman (2006). Beyond Strukturalism memiliki dua tahapan, pertama,
pengembangan metodologi, dan kedua, penerapannya berbentuk metode penelitian.
Suriasumantri (1985, 328) menjelaskan bahwa metodologi penelitian adalah
“pengetahuan tentang metode” yang dipergunakan dalam penelitian. Berdasarkan hal
tersebut pengembangan metodologi dalam penelitian ini merupakan proses pendefinisian,
penjelasan, dan pembuatan kerangka umum dari metode yang akan digunakan.
Salah satu yang harus ditentukan pada metodologi penelitian adalah metode dan
tujuan penelitian (Suriasumantri 1985, 328). Setelah dilakukan pengembangan
metodologi penelitian, tahap kedua adalah menerjemahkan kerangka umum metode
dalam prosedur penelitian secara eksplisit dan sistematis. Metode sendiri menurut Senn
dalam Suriasumantri (1985, 119) merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu
yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Dengan demikian yang dilakukan di sini
adalah penyusunan prosedur metodologi yang telah dikembangkan pada tahap pertama.
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 10
4.1. Tahap Pertama: Rumusan Umum Metodologi
Beyond Structuralism dijalankan dengan cara integrasi strukturalisme9 dan
postrukturalisme10. Strukturalisme digunakan, pertama, untuk mendalami interkoneksi
unsur-unsur pembentuk realitas; kedua, mencari struktur di balik unsur-unsur maupun di
balik realitas empiris pembentuk unsur; ketiga, menemukan binary opposition unsurunsur
realitas; dan keempat, menggali substansi unsur-unsur realitas secara sinkronis di
lapangan pada rentang waktu yang sama (bukan diakronis/perkembangan antar waktu).
Postrukturalisme digunakan untuk melampaui strukturalisme dalam melihat
realitas tersembunyi di luar unsur dan realitas, mulai dari tulisan (writing), jejak (trace),
perbedaan sekaligus penundaan tanda (differance), serta hasil penundaan (arche-writing).
Postrukturalisme juga melakukan proses penggalian unsur-unsur realitas melalui konteks
integasi sinkronis-diakronis. Integrasi yang dimaksud adalah penggalian antropologis
tidak hanya berdasarkan rentang waktu yang sama (sinkronis) tetapi juga perkembangan
antar waktu (diakronis). Teknisnya, penggalian integrasi empiris dilakukan saling silang
makna aktivitas bisnis koperasi saat ini (sinkronis) maupun masa lampau seperti ide
koperasi dari Hatta (diakronis).
4.2. Tahap Kedua: Bentuk Metode Sebagai Turunan Metodologi
Metode penelitian menggunakan “ekstensi” Strukturalisme dan Postrukturalisme.
Ekstensi merupakan perluasan keduanya agar dapat digunakan secara empiris di
lapangan. Ekstensi empiris menggunakan metodologi Constructivist Structuralism
(Wainwright 2000) versi Bourdieu (1977; 1989).
Constructivist Structuralism (selanjutnya disingkat CS) selalu menginginkan titik
temu teori dan praktik yang mungkin (Mahar et al. 2005) melibatkan field (ruang sosial)
dan habitus (perilaku individu tanpa sadar) (Bourdieu 1977). Unsur penting CS bahwa
tiap individu dalam realitas (practice) menjalankan produk sosial (field) sekaligus
dipengaruhi kerangka pikir (habitus) dan membentuk perilaku individu (Bourdieu dan
Wacquant, 1992).
9 Strukturalisme merupakan usaha menemukan struktur umum yang terdapat dalam aktivitas manusia
(Ritzer 2003). Struktur sebagai “sebuah unit yang tersusun dari beberapa elemen dan selalu memiliki
hubungan dalam suatu ‘aktivitas’ yang tergambar. Unit tidak bisa dipecah dalam elemen-elemen tunggal.”
(Spivak 1974; dalam Ritzer 2003, 51).
10 Postrukturalisme merupakan antitesis strukturalisme. Derrida menjelaskan bahwa selalu ada suatu
realitas bersembunyi di belakang tanda; selalu ada sesuatu tersembunyi di balik kehadiran sesuatu. Ia
adalah realitas dan hubungan dalam realitas (Ritzer 2003, 204).
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 11
Menurut Bourdieu setiap individu dalam realitas (practice) tidak semata-mata
menjalankan produk sosial tetapi juga dipengaruhi kerangka pikir dan menterjemah
dalam perilaku individu (Bourdieu dan Wacquant, 1992). Habitus dapat dikatakan
sebagai “blinkering perception of reality” (Fowler 1997 dalam Wainwright 2000, 10).
Artinya, habitus lanjut Takwin (2005, xviii-xix) habitus merupakan hasil pembelajaran
lewat pengalaman, aktivitas bermain dan pendidikan masyarakat dalam arti luas.
Pembelajaran terjadi secara halus (disebut doxa oleh Bourdieu), tidak disadari dan tampil
sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi alam.
Proses rekonstruksi bisnis koperasi melalui “ekstensi” Constructivist
Structuralism dilakukan melalui habitus, field, capital dan practice. Artinya, fase ini
merupakan proses empiris untuk membuktikan bahwa sebenarnya terdapat nilai-nilai
yang dapat dijadikan source koperasi sesuai nilai mereka sendiri (habitus) secara
material-batin-spiritual.
Proses penelitian dilakukan, pertama, penggalian data tertulis baik akademis
maupun kegiatan perkoperasian. Kedua, pengamatan, wawancara dan pendalaman makna
dan simbol dari informan yang melakukan aktivitas bisnis koperasinya. Informan
penelitian yaitu, pertama, Pak Sulaiman, salah satu reporter PIP; kedua, Pak Naryo,
pengurus Dekopinda salah satu kota di Jawa Timur; Pak Aris, pengurus koperasi primer
di Kediri; keempat, Pak Rahmat pengurus BMT di salah satu kota Jawa Tengah; kelima,
Pak Budiman manajer salah satu koperasi serba usaha di Jawa Timur.
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 12
5. PEMBAHASAN: INTERAKSI REALITAS SINKRONIS-DIAKRONIS
Penelusuran substansi konsep diri koperasi dilakukan secara diakronis, sinkronis dan
melakukan sinergi keduanya. Penelusuran diakronis yaitu melakukan pendalaman aspek
antropologis pikiran ekonomi koperasi dan penerjemahannya di lapangan masa pra
kemerdekaan sampai kemerdekaan (mulai awal proklamasi sampai turunnya Hatta
menjadi Wapres). Penelusuran sinkronis yaitu melakukan pendalaman aspek antropologis
beberapa aktivitas bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia. Sinergi diakronis dan
sinkronis dilakukan untuk menemukan titik temu sekaligus substansi konsep koperasi.
5.1. Penelusuran Diakronis Koperasi Masa Awal
Pertumbuhan koperasi di Indonesia menurut dimulai sejak tahun 1896 yang
selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang (Masngudi 1990;
Tambunan 2007). Perkembangan koperasi di Indonesia menurut Masngudi (1990)
mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara
menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya.
Mulai dari kegiatan simpan-pinjam, penyediaan barang-barang konsumsi, penyediaan
barang-barang keperluan produksi.
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja (1896),
mendirikan koperasi simpan pinjam. Selanjutnya Boedi Oetomo dan Sarekat Islam
menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Sarekat Islam lebih
konkrit lagi mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari
dengan cara membuka took-toko koperasi. Berkembang pula di awal-awal koperasi
Syirkatul Inan milik NU tahun 1918 di Jombang. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh
Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana berdasarkan
keputusan kongres 1929 bahwa untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera
harus didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di
Indonesia pada umumnya. Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938
memutuskan tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia,
terutama di lingkungan warganya. Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh
dan berkembang antara lain koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H.
Samanhudi dan K.H. Idris.
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 13
Perkembangan perkoperasian Indonesia masa itu menyatu dengan kekuatan sosial
politik sehingga menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya
Pemerintah Hindia Belanda mengatur dan cenderung menghalangi atau menghambat
perkembangan koperasi. Bentuknya yaitu tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431.
Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam berntuk
Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad no. 108/1933 yang
menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 191511,12.
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal menjadi
istilah “Kumiai”. Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang
dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran “Kumiai”
(koperasi). Pemerintah waktu itu menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang
tujuannya untuk melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin hari
semakin kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya gula
pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak Pemerintah pendudukan
bala tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke
Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang
untuk itu masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi)
dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan
kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman
Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para
anggota dan masyarakat pada umumnya.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas
perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta berusaha memasukkan
rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di
11 Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan golongan Timur Asing.
Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan
Perkoperasian tahun 1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan PeraturanPerkoperasian
tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing.
12 Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan Koperasi tahun 1930 menunjukkan suatu tingkat
perkembangan yang terus meningkat. Jikalau pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun
1939 jumlahnya menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930 sebanyak 7.848 orang
kemudian berkembang menjadi 52.555 orang. Sedang kegiatannya dari 574 koperasi tersebut diantaranya
423 kopersi adalah koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam sedangkan selebihnya adalah koperasi
jenis konsumsi ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam tersebut diantaranya 19 buah adalah
koperasi lumbung.
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 14
Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik13. Pada akhir 1946, Jawatan
Koperasi mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di
seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif dalam pengembangan
perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi Pemerintah
RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuan tentang koperasi dengan jalan
mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai tempat.
Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa yang
pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain terbentuknya
Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat SOKRI; menjadikan
tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta menganjurkan diselenggarakan pendidikan
koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat. Selanjutnya, koperasi
pertumbuhannya semakin pesat14.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 program
Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian15. Sejalan
dengan kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana tersebut di atas, koperasi makin
berkembang dari tahun ketahun baik organisasi maupun usahanya. Selanjutnya pada
tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang
ke II di Bandung16. Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi
Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Pada tahun 1956
13 Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa bangun
perekonomian yang sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal 33 UUd
1945 tersebut diatur pula di samping koperasi, juga peranan daripada BUMN dan Swasta.
14 Terjadinya agresi I dan II Belanda terhadap Indonesia serta pemberontakan PKI di Madiun 1948 banyak
merugikan gerakan koperasi. Tahun 1949 diterbitkan Peraturan Perkoperasian. Peraturan ini dikeluarkan
pada waktu Pemerintah Federal Belanda menguasai sebagian wilayah Indonesia yang isinya hampir sama
dengan Peraturan Koperasi Staatsblad No. 91 tahun 1927, dimana ketentuannya sudah kurang sesuai
dengan keadaan Indonesia sehingga tidak memberikan dampak berarti bagi perkembangan koperasi.
15 Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di muka DPR berkaitan program perekonomian. Untuk
memperbaiki perekonomian-perekonomian rakyat Kabinet Wilopo antara lain mengajukan suatu “program
koperasi” yang terdiri dari tiga bagian, yaitu usaha untuk menciptakan suasana dan keadaan sebaik-baiknya
bagi perkembangan gerakan koperasi; usaha lanjutan dari perkembangan gerakan koperasi; mengurus
perusahaan rakyat yang dapat diselenggarakan atas dasar koperasi. Usaha tersebut dilanjutkan Kabinet Ali
Sastroamidjodjo
16 Di samping itu mewajibkan DKI membentuk Lembaga Pendidikan Koperasi dan mendirikan Sekolah
Menengah Koperasi di Provinsi-provinsi. Keputusan yang lain ialah penyampaian saran-saran kepada
Pemerintah untuk segera diterbitkannya Undang-Undang Koperasi yang baru serta mengangkat Bung Hatta
sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 15
tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan Kongres Koperasi III di Jakarta.
Keputusan Kongres di samping berkaitan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga
mengenai hubungan Dekopin dengan ICA.
Pada tahun 1958 diterbitkan UU tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun
1958. UU ini disusun dalam suasana UUDS 1950 dan mulai berlaku tanggal 27 Oktober
1958. Isinya lebih baik dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan
koperasi sebelumnya dan merupakan Undang-Undang yang pertama tentang
perkoperasian yang disusun Bangsa Indonesia sendiri dalam suasana kemerdekaan.
5.2. Penelusuran Sinkronis Realitas Empiris Masyarakat Koperasi Indonesia
Aplikasi diakronis terekam dalam practice realitas field sinkronis masyarakat
koperasi Indonesia. Realitas koperasi saat ini ternyata memunculkan pemahaman
koperasi yang bias. Penelusuran sinkronis dilakukan misalnya dari practice Pak
Sulaiman, Pak Naryo, Pak Aris, Pak Rahmat dan Pak Budiman.
Pak Sulaiman misalnya menjelaskan bahwa pemahaman mengenai gerakan
koperasi saat ini lebih bermakna mendapatkan kredit atau pembiayaan. Berikut ungkapan
Pak Sulaiman:
La gimana, saya hampir tiap hari di telpon, di sms, intinya ya itu, apakah kalau saya
ikut koperasi bisa dapat dana modal kerja, bisa dapat kredit?
Persepsi seperti dijelaskan Pak Sulaiman dengan pandangan yang agak berbeda
dijelaskan Pak Aris, meskipun intinya sama:
Karena pengalaman dulu itu, sekarang gak apalah, tapi yang penting itu ya cari danadana
bantuan pusat. Sekarang saya mau menghidupkan koperasi saya yang mati suri,
ya itu karena dikemplang manajer. Anggotanya juga gitu, sudah dibantu malah
ngemplang. Dulu sih bisa aja agak idealis ngembangkan koperasi untuk kepentingan
anggota. Sudah ikhlas, anggota dibantu, tahun 1993 dapat proyek pengembangan
mikrolet. Sudah didistribusikan ke anggota, eh sampai tahun 1995 mereka malah gak
setor-setor. Ya macet. Tahun 1995 dapat proyek penggemukan sapi. Kita sudah
semangat, tapi setelah masa pengambilan oleh pengurus pusat koperasi di Surabaya,
mereka gak ngambil-ngambil sampe 3 bulan. Sudah gitu, setelah mereka ngambil
malah kita gak diberi kompensasi sesuai perjanjian, yang ada cuma uang muka bantuan
pribadi mereka, dan sampai sekarang yang gak tau juntrungnya. Tahun 1997 dapat
proyek lagi untuk distribusi beras ke pondok-pondok. Semuanya berjalan lancar, eh
manajer malah bermain sama gudang dolog, ya wis yang kaya malah manajernya.
Dari ungkapan Pak Sulaiman dan Pak Aris itu dapat dilihat bahwa koperasi sekarang
sudah sedemikian rupa terkooptasi oleh program manja dari pemerintah. Artinya, mereka
hanya berharap bahwa dengan ikut koperasi itu ya dapat uang, dapat pinjaman, dapat
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 16
modal. Pengalaman Pak Aris juga menempa dirinya untuk bersifat pragmatis, bahwa
program koperasi itu tidak bisa bergerak lebih jauh dari itu. Kalaupun dapat
dikembangkan, yang mungkin adalah pengembangan koperasi yang “masih” bersifat
intermediasi.
Hal itu dapat dilihat dari pengembangan koperasi saat ini. Lembaga Keuangan
Mikro, Koperasi Simpan Pinjam maupun BMT, serta koperasi karyawan dengan model
swalayan atau retail. Pak Rahmat misalnya, salah seorang pengurus BMT di Wonosobo
mengatakan:
Masyarakat sekarang masih membutuhkan dana untuk menjalankan bisnisnya. Kita ini
kan memang mencoba membantu mengentaskan mereka dari jebakan rentenir pasar.
Pernyataan yang mirip dengan bahasa lebih teknis dari Pak Budiman:
Rentenir: Pedagang pasar meminjam dana Rp 100.000,00 dari rentenir. Pedagang pasar
menerima dana pinjaman Rp 90.000,00, sedangkan Rp 10.000,00 langsung dipotong di
awal. Sisa pinjaman Rp 90.000,00 dicicil @ Rp 5.000,00 selama 24 hari.
Qardhul hasan: Pedagang pasar meminjam dana Rp 100.000,00 dari BMT. Pedagang
pasar menerima dana pinjaman Rp 100.000,00 dan harus dikembalikan 24 hari kemudian
sejumlah Rp 100.000,00. Pedagang pasar dipersilakan berbuat baik (hassan) dengan
memberi lebih dari dana pinjamannya secara ikhlas.
Masyarakat kita sekarang masih diproyeksikan pada tataran itu. Tetapi ketika diupayakan
menjadi lebih berorientasi produktif, koperasi malah merasa belum siap. Padahal sumber
daya alam Indonesia penuh dengan sumber daya untuk memajukan tradisi produktif.
Apalagi bila mau dikembangkan ke arah produktif. Hal tersebut sangat sulit
dikembangkan. Berikut komentar Pak Naryo:
Koperasi mengelola produksi gas di Gresik? La itu kan digarap oleh perusahaan asing.
Mana mungkin?...kita kan tidak punya keahlian untuk itu...
Beliau seperti tidak pernah berpikir ke arah produktif, karena beliau menganggap
koperasi tidak bergerak dengan skala besar atau produktif. Persepsi bahwa koperasi
hanyalah subordinasi dari perusahaan besar dan tidak memiliki keahlian jelas terungkap
secara implisit di situ.
Pesimisme tersebut sebenarnya juga tidak terlalu signifikan. Penggerak koperasi
ternyata masih memiliki semangat. Seperti ungkapan Pak Sulaiman:
Pengurus koperasi sekarang banyak yang sudah tua, jadi gak bisa diajak progresif.
Diajak berinovasi. Mungkin kita yang muda ini perlu kemandirian, kalau perlu harus
bergerak lebih mandiri. Kenapa koperasi mesti harus terikat kepentingan pemerintah?
Ya kalau mau bantu pemerintah itu wajiblah. Tapi kita perlu punya ide sendiri. Yang
bagus itu kan seperti kelompok usaha bersama nelayan. Mereka punya ide sendiri,
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 17
tidak berbentuk koperasi awalnya, tapi mereka memiliki kesadaran untuk berkumpul.
Koperasi Sae Pujon juga bagus, yang produktif seperti itu...Yang penting ya gotong
dan kekeluargaan yang sebenarnya... pemberdayaan dari bawah yang sebenarnya.
Pengembangan koperasi menurut Pak Sulaiman di atas jelas sekali perlu dikembangkan
dari bawah, bukan intervensi atau menjadi subordinasi dari kepentingan tertentu.
Pemerintah dan instansi tetap perlu berperan sebagai supporting movement. Keberadaan
perusahaan pun sebenarnya bukan mengkreasi koperasi menjadi subordinat. Perlu adanya
kesetaraan. Di samping itu yang menarik adalah membentuk karakter
kekeluargaan dan pemberdayaan dari bawah/kontekstual. Diperlukan penggalian lebih
jauh konsep kekeluargaan dan pemberdayaan koperasi berbasis ekonomi rakyat.
5.3. Sinergi Diakronis-Sinkronis: Menuju Konsep Pemberdayaan Koperasi
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan koperasi awal sampai masa
kemerdekaan terlihat bahwa habitus masyarakat Indonesia dalam mengembangkan
(practice) koperasi (field) didasarkan kepentingan pemberdayaan (capital). Memang
perkembangan awal masih bertujuan untuk kepentingan konsumtif dan kebutuhan modal
anggotanya (intermediasi). Hal ini dapat dilihat dari koperasi di Purwokerto sampai
dibentuknya koperasi oleh Boedi Oetomo, SI, NU, PNI, dan lainnya. Meskipun koperasi
intermediasi seperti ini akhirnya tidak berjalan lama.
Tetapi setelah berjalan sekitar 20 tahun, gerakan koperasi mulai mengarah
kepentingan produktif. Misalnya gerakan koperasi fenomenal Muhammadiyah berkenaan
produksi batik. Bahkan gerakan koperasi produktif sangat kuat dan bertahan lebih lama
dari gerakan intermediasi, karena memiliki kemampuan beradaptasi. Inilah yang disebut
oleh Prahalad dan Hamel (1990) sebagai core competencies17. Hanya perbedaannya,
kompetensi inti versi Prahalad dan Hamel (1990) berorientasi pada kepentingan
individual, sedangkan kompetensi inti koperasi Muhammadiyah lebih berorientasi pada
karakter koperasi Indonesianis, yaitu kekeluargaan.
Perubahan situasi di masa orde baru dan reformasi, memunculkan mekanisme
baru pemberdayaan, yaitu intervensi terus menerus terhadap koperasi. Mekanisme seperti
17 Meskipun gerakan koperasi batik kemudian banyak mengalami kendala. Penjelasan yang mungkin
adalah pemberdayaan koperasi ketika bertemu dengan kepentingan kapitalistik, maka gerakan koperasi
menjadi melemah. Buktinya, gerakan koperasi batik pernah mengalami kejayaan dan menggurita menjadi
holding company, tetapi lupa pada akar tradisi habitus perbatikan, yaitu kesejahteraan anggota secara luas
dan empati sosial lingkungannya.
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 18 ini telah menghilangkan core competencies koperasi (yang seharusnya mandiri, otonom,
berkembang dari bawah, dijalankan secara kekeluargaan, memiliki sinergi dan
keseimbangan bisnis produktif-intermediasi-retail) menjadi tereduksi terlalu jauh. Bila
dirujuk pada konsep bisnis core competencies, maka kondisi koperasi sekarang telah
kehilangan sense untuk mengembangkan core competencies, dan hanya dapat
mengembangkan core product saja. Itupun yang disebut dengan produk telah jauh
tereduksi pada model intermediasi dan retail saja. Sedangkan substansi dari core product
yang lebih mengutamakan inovasi teknologi dan orientasi produk teralienasi secara
gradual dan menurun.
Menjadi benar ungkapan Bourdieu bahwa setiap manusia dan realitas sosial
dipengaruhi oleh habitus. Ketika tesis Arif (1995) benar bahwa masyarakat Indonesia
telah terkooptasi secara “turun-temurun” oleh budaya cultuurstelsel Belanda selama 350
tahun, maka menjadi logislah kita semua masih senang didominasi oleh gerakan “tanam
paksa” Neoliberal. Cultuurstelsel telah menjadi habitus rakyat Indonesia lewat doxa
kapitalisme, Neoliberalisme Ekonomi. Ekonomi Rakyat sebagai idealisme telah tergerus
pula oleh doxa Neoliberalisme Ekonomi. Neoliberalisme Ekonomi bahkan telah menjadi
(dikatakan Bourdieu) sebagai symbolic violence, yaitu kejahatan simbolis dari doxa.
Bentuk konkrit habitus cultuurstelsel, mewujud dalam peran Usaha Besar menjadi pusat
kendali dari trickle down effect pada bursa efek, mega-industri sampai oligopoli pasar
nasional. Sedangkan koperasi hanyalah menjadi tiang penopang ekonomi (dan
sesungguhnya pula hanya sebagai pelengkap penderita) berbentuk subordinasi bagi
Usaha Besar.
Pesona statistik menurut Ismangil dan Priono (2006) tentu tak bisa dijadikan
patokan tunggal. Fakta memang menyebutkan perkembangan koperasi di Indonesia
secara kuantitatif terbilang paling pesat dibandingkan kebanyakan negara manapun di
dunia. Jika di negara-negara dengan tradisi berkoperasi yang telah mengakar kuat tak
sedikit yang mengarah pada trend amalgamasi, situasi kontras terlihat di negeri ini.
Mengacu pada data pertumbuhan kuantitatif koperasi Indonesia empat tahun terakhir,
dari semula tercatat 118.644 unit (2002) meroket menjadi lebih dari 123 ribu unit pada
2005 (Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2006). Hanya dalam tempo tiga
tahun tak kurang 5.000 unit koperasi muncul bak cendawan di musim hujan. Ini juga bisa
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 19
diartikan bahwa animo masyarakat masih terus meningkat dari masyarakat untuk
menghidupkan perekonomian mereka melalui koperasi.
Tetapi kenyataannya, kita, lanjut Islamingi dan Priono (2006) juga harus
berlapang dada menerima kenyataan, bahwa dibandingkan BUMN dan swasta, koperasi
belum memberikan kontribusi yang signifikan dalam perekonomian nasional. Sumbangan
yang sangat kecil terhadap produk domestik bruto (PDB) memperlihatkan wajah lain dari
perkembangan koperasi di Indonesia. Belum suksesnya Indonesia dalam
mengembangkan perekonomian di tingkat pedesaaan yang mengakibatkan tidak
berkembangnya ekonomi rakyat, merupakan akibat kurang optimalnya pengembangan
wadah koperasi sebagai penopang perekonomian nasional. Koperasi masih diposisikan
dalam zona sub sistem-bagian dari sistem-swasta dan BUMN, dengan kedudukan yang
tidak sederajad. Karena berada dalam posisi sub sistem, koperasi di Indonesia kurang
optimal dalam membangun jaringan koperasi (coop-network) yang memadai, akibatnya
banyak keuntungan-keuntungan ekonomis yang terserap swasta dan BUMN.
Indikasi doxa dan symbolic violence juga dapat muncul dari Visi Membangun
Koperasi Berkualitas. Maka diingatkan oleh Sularso (2006) bahwa jika 70,000 koperasi
berkualitas ingin diwujudkan, perlu dilakukan intervensi agar jumlah koperasi berkualitas
terdongkrak mencapai jumlah yang dikehendaki. Intervensi dilakukan dengan
memfasilitasi koperasi-koperasi yang mempunyai potensi untuk meningkatkan
kualitasnya. Tetapi jika intervensi tersebut tidak tersambut dengan potensi internal yang
tumbuh, maka tidak akan bermanfaat dan akan merusak koperasi. Umumnya intervensi
pemerintah mengandung bahaya, menjadikan koperasi tergantung dan kehilangan
keswadayaan dan otonominya. Atau melakukan rekayasa pernilaian dengan menurunkan
kadar kriterianya sehingga lebih banyak koperasi yang bisa masuk kategori berkualitas.
Intervensi pemerintah belum tentu dapat menumbuhkan potensi internal koperasi dan
rekayasa kriteria klasifikasi hanya akan menghasilkan klasifikasi koperasi yang
kualitasnya dibawah standar. Koperasi- nya sendiri tidak bergerak untuk meningkatkan
kualitasnya.
Lebih lanjut Sularso (2006) menjelaskan umumnya pencapaian target
pengembangan koperasi dilakukan dengan pendekatan formalistik, kurang
memperhatikan substansi koperasi berkualitas. Untuk menghindari formalisme dalam
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 20
membangun koperasi berkualitas, seharusnya mempertimbangkan substansi koperasi
berkualitas, yaitu konsistensi terhadap nilai, prinsip dan tujuan koperasi, konsistensi
terhadap fungsi dan peran koperasi, partisipasi anggota dan keputusan demokratik,
pengelolaan berdasar good corporate governance, dan pertumbuhan berkelanjutan.
Bahkan kecenderungan gerak koperasi sekarang juga kembali ke logika awal
pergerakan koperasi di masa koperasi dikenalkan di Indonesia, fungsi intermediasi. Hal
ini terlihat dari makin menjamurnya Lembaga Keuangan Mikro dan Koperasi Simpan
Pinjam. Perkembangan yang juga membesar juga bentuk Koperasi Serba Usaha, yang
bergerak di bidang retail. Kebalikannya, koperasi produktif meskipun secara sporadis
banyak memiliki keanggotan, omzet dan aset besar, tetapi kecenderungan terus menurun.
6. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasiretail
merupakan substansi pengembangan koperasi sesuai realitas masyarakat Indonesia
yang unik. Meskipun perkembangannya saat ini banyak tereduksi intervensi kebijakan
dan subordinasi usaha besar. Diperlukan kebijakan, regulasi, supporting movement
(bukannya intervention movement), dan strategic positioning (bukannya sub-ordinat
positioning) berkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian, kekeluargaan dan
sinergi produktif-intermediasi-retail yang komprehensif. Paling penting adalah
menyeimbangkan kepentingan pemberdayaan ekononomi koperasi berbasis pada sinergi
produktif-intermediasi-retail sesuai Ekonomi Natural model Hatta. Sinergi produktifintermediasi-
retail harus dijalankan dalam koridor kompetensi inti kekeluargaan. Artinya,
pengembangan keunggulan perusahaan berkenaan inovasi teknologi dan produk harus
dilandasi pada prinsip kekeluargaan. Individualitas anggota koperasi diperlukan tetapi,
soliditas organisasi hanya bisa dijalankan ketika interaksi kekeluargaan dikedepankan.
Agenda mendesak. Pertama, menemukan bentuk konkrit kompetensi inti
kekeluargaan. Sebagai komparasi mungkin diperlukan parameter usulan Prahalad dan
Hamel (1990)18 untuk mengidentifikasi kompetensi inti kekeluargaan versi koperasi.
18 Tiga parameter untuk mengidentifikasi kompetensi inti perusahaan adalah sebagai berikut: (1) apakah
kompetensi inti memberikan akses potensial kepada berbagai macam pasar?; (2) apakah kompetensi inti
dapat memberikan kontribusi signifikan pada manfaat yang diterima pelanggan? (3) apakah kompetensi inti
yang dimiliki perusahaan membuat pesaing mengalami kesulitan untuk meniru?
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 21
Kompetensi inti memang berasal dari sumber daya dan kemampuan organisasi, namun
tidak semua sumber daya dan kemampuan merupakan kompetensi inti. Meskipun tidak
menutup kemungkinan adanya perluasan (ekstensi) model tiga parameter tersebut.
Kedua, diperlukan pemacu bentuk koperasi secara seimbang. Koperasi produktif perlu
digalakkan, sehingga kualitas, enterpreneurship, kemandirian, jumlah dan
keanggotaannya memiliki keseimbangan dengan bentuk koperasi lain, seperti koperasi
fungsional, koperasi retail maupun jasa (intermediasi). Bagi koperasi produktif lama
perlu kebijakan mendesak untuk pemberdayaan agar tidak terjadi deklinasi usaha. Perlu
juga menumbuhkan pengusaha-pengusaha baru koperasi di bidang produktif, seperti
pertambangan, energi, industri, otomotif, industri keperluan rumah tangga (sabun, sikat
gigi, pasta gigi, shampoo, dll), teknologi pertanian, dll.
Agenda menengah. Beberapa tahun ke depan perlu merancang pemberdayaan
koperasi yang lebih mandiri. Artinya, saatnya memikirkan lebih konkrit mekanisme yang
menyentuh langsung pada sektor riil. Beberapa hal dapat dilakukan, pertama,
menemukan formulasi mikro ekonomi untuk semua. Mekanisme gotong-royong bukan
hanya sebagai bentuk idealisme, tetapi perlu dielaborasi lebih jauh sebagai inti
pendekatan mikro yang berdampak pada ekonomi makro. Kedua, menemukan dari bawah
mekanisme berdagang, berinvestasi, produksi dan melakukan pemasaran bagi ekonomi
rakyat secara luas dan berkeadilan. Ketiga, mengembangkan akhlak bisnis ekonomi
rakyat berbasis kekeluargaan ala Indonesia. Keempat, menggali dan mengangkat kearifan
lokal dalam berekonomi. Konsekuensinya adalah menelusuri mekanisme manajemen,
administrasi dan keuangan/akuntansi ekonomi rakyat sesuai realitas Ke-Indonesia-an.
Kelima, mensinergikan mikro dan makro ekonomi atas dasar kepentingan ekonomi,
sosial, lingkungan untuk semua
Agenda jangka panjang. Kenyataan program-program bersifat pembiayaan,
akses perbankan, aspek teknologi dan segala hal tersebut masih berkaitan dengan materi;
pemberdayaan, profesionalisme, pelatihan, kemitraan, pasar bersama dan lain sebagainya
masih berkaitan dengan anthropocentric oriented. Demikian pula perjuangan ekonomi
kerakyatan berbasis sosial, berbasis masyarakat Indonesia, perluasan bentuk demokrasi
ekonomi semua juga tidak lepas dari nuansa sosialisme model baru yang juga tetap
berpola materialism and anthropocentric oriented.
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 22
Atau lebih jauh dari itu semua, apakah prioritas pemberdayaan dan penguatan
ekonomi rakyat bukan hanya “materialism and anthropocentric oriented”? Bila kita
angkat pada hal yang lebih normatif, bentuk pemberdayaan terbatas pada materialitas,
kepentingan ego manusia, baik pribadi maupun kelompok mungkin tidak layak lagi
dikumandangkan. Pemberdayaan holistik baik materialitas, egoisme diri, sosial harus
dikembangkan dan diperluas lebih jauh. Bahkan harusnya juga melampaui itu semua
(Mulawarman 2007).
Ditegaskan Mulawarman (2007) bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dibaca
hanya sebagai salah satu penggalan kepentingan ekonomi masyarakat Indonesia.
Kemakmuran ekonomi masyarakat bukan hanya perwujudan pasal 33 UUD 1945. Pasal
33 hanyalah salah satu bagian dari seluruh kehendak rakyat Indonesia yang holistik yaitu
menginginkan kesejahteraan sosial, ekonomi, politik, budaya, lahir dan batin, serta
mewujudkan harkat martabat manusia berke-Tuhan-an. Keluar dari Materialisme
Ekonomi versi Amerika juga seharusnya tidak serta merta menyetujui antitesisnya seperti
Marxisme, atau yang lebih “soft” misalnya gerakan Materialisme Sosialis maupun
Sosialisme Baru. Menjadi benarlah pesan HOS Tjokroaminoto: “keluar dari kapitalisme
menuju sosialisme tidaklah berguna, karena keduanya masih menuhankan benda.
Ekonomi yang benar adalah ekonomi untuk rakyat, ekonomi berorientasi kebersamaan,
bermoral, memiliki tanggung jawab sosial dan paling penting tanggungjawab pada
Tuhan.” Tetapi, religiusitas ekonomi rakyat bukanlah religiusitas gaya spiritual company
yang menggunakan spiritualitas untuk kepentingan keuntungan ekonomi atau apapunlah.
Ekonomi rakyat haruslah utuh dan kokoh bersandar pada kepentingan jangka panjang,
Jalan Tuhan. Insya Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Sritua. 1995. Dialektika Hubungan Ekonomi Indonesia dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat.
KELOLA. No. 10/IV. hal 29-42.
Bourdieu, Pieree. 1977. Outline of A Theory of Practice. Cambridge University Press.
Bourdieu, Pierre. 1989. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Cambridge-
MA: Harvard University Press.
Bourdieu, Pierre, Loic JD. Wacquant. 1992. An Invitation to Reflective Sociology. The University
of Chicago Press.
Capra, Fritjof. 2003. The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living. Flamingo.
Dekopin. 2006. Program Aksi Dekopin. Jakarta.
Aji Dedi Mulawarman – Mengembangkan Kemandirian Bisnis Koperasi Indonesia 23 Hamel, G. and Prahalad, C. K. 1989, Strategic Intent. Harvard Business Rewiew, Vol.
67, No. 3.
Hamel, G. and Prahalad, C. K. 1994. Competing for the Future. Harvard Business
School Press
Hatta, Mohammad. 1947. Penundjuk Bagi Rakjat Dalam Hal Ekonomi: Teori dan Praktek.
Penerbit Kebangsaan Pustaka Rakjat. Jakarta.
Ismangil, W. Priono. 2006. Menumbuhkan Kewirausahaan Koperasi Melalui Pengembangan Unit
Usaha yang Fleksibel dan Independen. Infokop. 29-XXII. Hal 72-76.
Jauhari, Hasan. 2006. Mewujudkan 70.000 Koperasi Berkualitas. Infokop. No 28-XXII. Hal.1-9.
Masngudi. 1990. Penelitian tentang Sejarah Perkembangan Koperasi di Indonesia. Badan
Penelitian Pengembangan Koperasi. Departemen Koperasi. Jakarta.
Mubyarto. 2002. Ekonomi Kerakyatan dalam era globalisasi. Jurnal Ekonomi Rakyat. Tahun I
No. 7. September.
Mubyarto. 2003.Dari Ilmu Berkompetisi ke Ilmu Berkoperasi. Jurnal Ekonomi Rakyat. Th. II.
No. 4. Juli.
Mulawarman. 2006. Menyibak Akuntansi Syari’ah. Penerbit Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Mulawarman. 2007. Melampaui Pilihan Keberpihakan: Pada UMKM atau Ekonomi Rakyat?
Makalah Seminar Regional Tinjauan Kritis RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah,
oleh Puskopsyah BMT Wonosobo, tanggal 28 Agustus 2007.
Nugroho, Heru. 2001. Negara, Pasar dan Keadilan Sosial. Pustaka Pelajar. Jogjakarta.
Prahalad, CK. And Gary Hamel. 1990. The Core Competence of the Corporation. Harvard
Business Review. May-June. pp 1-12.
Ritzer, G. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan. Kreasi Wacana-Juxtapose. Yogyakarta.
Sarman, Rohmat. 2007. Ekonomi Kerakyatan: Introspeksi eksistensi pembangunan ekonomi?
download internet 23 Agustus
Shutt, Harry. 2005. Runtuhnya Kapitalisme. Terjemahan. Teraju. Jakarta.
Soetrisno, Noer. 2002. Koperasi Indonesia: Potret dan Tantangan. Jurnal Ekonomi Rakyat. Th II
No. 5 Agustus.
Soetrisno, Noer. 2003. Pasang Surut Perkembangan Koperasi di Dunia dan Indonesia. Jurnal
Ekonomi Rakyat.
Stiglitz, Joseph E.. 2006. Dekade Keserakahan : Era 90’an dan Awal Mula Petaka Ekonomi
Dunia. Terjemahan. Penerbit Marjin Kiri. Tangerang.
Sularso. 2006. Membangun Koperasi Berkualitas: Pendekatan Substansial. Infokop Nomor 28-
XXII. Hal 10-18.
Takwin, Bagus. 2005. Proyek Intelektual Pierre Bourdieu: Melacak Asal-usul Masyarakat,
Melampaui Opisisi Biner dalam Ilmu Sosial. Kata Pengantar dalam (Habitus x Modal) +
Field = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu.
Terjemahan. Jalasutra. Jogjakarta.
Tambunan, Tulus. 2007. Prospek Koperasi Pengusaha dan Petani di Indonesia Dalam Tekanan
Globalisasi dan Liberalisasi Perdagangan Dunia. Hasil Penelitian. Kerjasama Kadin
Indonesia dan Pusat Studi Industri & UKM Universitas Trisakti. Jakarta.
Tjokroaminoto, HOS. 1950. Islam dan Socialism. Bulan Bintang. Jakarta.
Wainwright, Steven P. 2000. For Bourdieu in Realist Social Science. Cambridge Realist
Workshop 10th Anniversary Reunion Conference. Cambridge, May.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar