Selasa, 07 Januari 2014

Etika Governance

Nama   :           Yuli Chatrine Castro
NPM   :           28210741
Kelas   :           4EB09

Etika Pemerintahan

Ethical Governance ( Etika Pemerintahan ) adalah Ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Dalam Ethical Governance ( Etika Pemerintahan ) terdapat juga masalah kesusilaan dan kesopanan ini dalam aparat, aparatur, struktur dan lembaganya. Kesusilaan adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati manusia. Suara hati manusia menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk, tergantung pada kepribadian atau jati diri masing-masing. Manusia berbuat baik atau berbuat buruk karena bisikan suara hatinya ( consience of man).
Good governance merupakan tuntutan yang terus menerus diajukan oleh publik dalam perjalanan roda pemerintahan. Tuntutan tersebut merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon positif oleh aparatur penyelenggaraan pemerintahan. Good governance mengandung dua arti yaitu :
1.      Menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang hidup dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara yang berhubungan dengan nilai-nilai kepemimpinan. Good governance mengarah kepada asas demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.      Pencapaian visi dan misi secara efektif dan efisien. Mengacu kepada struktur dan kapabilitas pemerintahan serta mekanisme sistem kestabilitas politik dan administrasi negara yang bersangkutan.
Untuk penyelenggaraan Good governance tersebut maka diperlukan etika pemerintahan. Etika merupakan suatu ajaran yang berasal dari filsafat mencakup tiga hal yaitu :
1.      Logika, mengenai tentang benar dan salah.
2.      Etika, mengenai tentang prilaku baik dan buruk.
3.      Estetika, mengenai tentang keindahan dan kejelekan.
Secara etimologi, istilah etika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata ”Virtus” yang berarti keutamaan dan baik sekali, serta bahasa Yunani yaitu kata ”Arete” yang berarti utama. Dengan demikian etika merupakan ajaran-ajaran tentang cara berprilaku yang baik dan yang benar. Prilaku yang baik mengandung nilai-nilai keutamaan, nilai-nilai keutamaan yang berhubungan erat dengan hakekat dan kodrat manusia yang luhur. Oleh karena itu kehidupan politik pada jaman Yunani kuno dan Romawi kuno, bertujuan untuk mendorong, meningkatkan dan mengembangkan manifestasi-manifestasi unsur moralitas. Kebaikan hidup manusia yang mengandung empat unsur yang disebut juga empat keutamaan yang pokok (the four cardinal virtues) yaitu :
1.      Kebijaksanaan, pertimbangan yang baik (prudence).
2.      Keadilan (justice).
3.      Kekuatan moral, berani karena benar, sadar dan tahan menghadapi godaan(fortitude).
4.      Kesederhanaan dan pengendalian diri dalam pikiran, hati nurani dan perbuatan harus sejalan atau ”catur murti” (temperance).
Dengan demikian etika pemerintahan tidak terlepas dari filsafat pemerintahan. filsafat pemerintahan adalah prinsip pedoman dasar yang dijadikan sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan roda pemerintahan yang biasanya dinyatakan pada pembukaan UUD Negara kalau melihat sistematika filsafat yang terdiri dari filsafat teoritis,”mempertanyakan yang ada”, sedangkan filsafat praktis, ”mempertanyakan bagaimana sikap dan prilaku manusia terhadap yang ada”. Dan filsafat etika. Oleh karena itu filsafat pemerintahan termasuk dalam kategori cabang filsafat praktis. Filsafat pemerintahan berupaya untuk melakukan suatu pemikiran mengenai kebenaran yang dilakukan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengacu kepada kaedah-kaedah atau nilai-nilai baik formal maupun etis.
Dari segi etika, pemerintahan adalah perbuatan atau aktivitas yang erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu perbuatan atau aktivitas pemerintahan tidak terlepas dari kewajiban etika dan moralitas serta budaya baik antara pemerintahan dengan rakyat, antara lembaga/pejabat publik pemerintahan dengan pihak ketiga. Perbuatan semacam ini biasanya disebut Prinsip Kepatutan dalam pemerintahan dengan pendekatan moralitas sebagi dasar berpikir dan bertindak. Prinsip kepatutan ini menjadi fondasi etis bagi pejabat publik dan lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas pemerintahan.
Etika pemerintahan disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara selaku manusia sosial (mahluk sosial). Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika pemerintahanadalah :
1.      Penghormatan terhadap hidup manusia dan HAM lainnya.
2.      kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya(honesty).
3.      Keadilan dan kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
4.      kekuatan moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan(fortitude).
5.      Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance).
6.      Nilai-nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar manusia harus bertindak secara profesionalisme dan bekerja keras.
Karena pemerintahan itu sendiri menyangkut cara pencapaian negara dari prespekti dimensi politis, maka dalam perkembangannya etika pemerintahan tersebut berkaitan dengan etika politik. Etika politik subyeknya adalah negara, sedangkan etika pemerintahan subyeknya adalah elit pejabat publik dan staf pegawainya.
Etika politik berhubungan dengan dimensi politik dalam kehidupan manusia yaitu berhubungan dengan pelaksanaan sistem politik seperti contoh : tatanan politik, legitimasi dan kehidupan politik. Bentuk keutamaannya seperti prinsip demokrasi(kebebasan berpendapat), harkat martabat manusia (HAM), kesejahteraan rakyat.
Etika politik juga mengharuskan sistem politik menjunjung nilai-nilai keutamaan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif. Misalnya legitimasi politik harus dapat dipertanggungjawabkan dengan demikian juga tatanan kehidupan politik dalam suatu negara.
Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para elit pejabat publik dan staf pegawai pemerintahan. Oleh karena itu dalam etiak pemerintahan membahas prilaku penyelenggaraan pemerintahan, terutama penggunaan kekuasaan, kewenangan termasuk legitimasi kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik dan buruk.
Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks proklamasi). Di Indonesia wujudnya adalah pembukaan UUD 1945 sekaligus pancasila sebagai dasar negara (fundamental falsafah bangsa) dan doktrin politik bagi organisasi formil yang mendapatkan legitimasi dan serta keabsahan hukum secara de yure maupun de facto oleh pemerintahan RI, dimana pancasila digunakan sebagai doktrin politik organisasinya.
·         MAKNA ETIKA PEMERINTAHAN
Etika berkenaan dengan sistem dari prinsip – prinsip moral tentang baik dan buruk dari tindakan atau perilaku manusia dalam kehidupan sosial. Etika berkaitan erat dengan tata susila ( kesusilaan ), tata sopan santun ( kesopanan ) dalam kehidupan sehari-hari yang baik dalam keluarga, masyarakat, pemerintahan, bangsa dan negara.
Etika dalam kehidupan didasarkan pada nilai, norma, kaidah dan aturan. Etika berupa : etika umum ( etika sosial ) dan etika khusus ( etika pemerintahan ). Dalam kelompok tertentu dikenal dengan etika bidang profesional yaitu code PNS, code etik kedokteran, code etik pers, kode etik pendidik, kode etik profesi akuntansi, hakim, pengacara, dan lainnya.

Inti dari Etika Pemerintahan adalah tentang bagaimana cara menggunakan kekuasaan, “The Use of Power”. Dan dalam menjalankan kekuasaan tersebut ada nilai-nilai normatif yaitu :
  1.      Nilai sopan santun
  2.      Nilai hukum
  3.      Nilai moral.
Jadi aparat pemerintahan (baik itu pusat atauoun daerah), harus menggunakan kekuasaannya dengan etika yang baik dan menjalankan kekuasaannya dengan nilai-nilai normatif tersebut untuk mencapai tujuan pemerintahan yang baik dan sehat.
Dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintahan, dikenal legitimasi sebagai dasar untuk mengukur etika dalam kekuasaan pemerintahan. Pemerintah yang mempunyai legitimasi etis adalah pemerintah yang dalam perbuatannya menyesuaikan dasar-dasar kekuasaannya dengan norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat. Menurut  Max Weber, ciri-ciri legitimasi etis adalah,
1) Penyesuaian persoalan-persoalan kekuasaan secara etis, dalam arti berdasarkan nilai-nilai moral dalam masyarakat;
2) Perilaku kekuasaan didasarkan landasan etika yang dihubungkan dengan ajaran atau ideologi;
3) Setiap perbuatan dilakukan secara umum dan tidak hanya kepentingan tertentu (vested interest).
Etika lebih banyak berbicara tentang baik dan buruk, bukan benar atau salah sebab yang berbicara tentang benar atau salah adalah hukum. Baik dan buruk lebih didasarkan norma dan tata krama yang pada umumnya tidak tertulis tetapi telah disepakati oleh masyarakat sebagai suatu tata nilai. Setidak-tidaknya dalam organisasi dikenal 3 (tiga) macam etika, yaitu etika individu, etika organisasi, dan etika profesi.
Etika perorangan menentukan baik atau buruk perilaku orang per orang (individu), dalam hubungannya dengan individu lain. Sementara etika organisasi itu sendiri menggariskan konteks tempat keputusan-keputusan etika persorangan yang justru harus dimiliki oleh orang yang menjadi pengabdi masyarakat (public servant).
Etika organisasi sebagai aturan (ethics of rule) yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur termasuk di dalamnya sistem insentif, dan disinsentif dan sanksi-sanksi berdasarkan aturan. Sedangkan etika profesional berlaku dalam suatu kerangka yang diterima oleh semua yang secara kaku atau secara moral mengikat mereka dalam kelompok profesi yang bersangkutan. Etika profesional yang dikembangkan dan dilembagakan dalam bentuk "kode etik". Kode etik ini memperkuat dengan sistem hukum atau mengikat secara moral dalam menjalankan tugas profesinya.
Ketiga macam etika tadi, idealnya dapat diikuti dan dipatuhi dan sekaligus dijadikan pedoman, pegangan, dan referensi, dalam menjalankan pekerjaan profesinya. Untuk menghindari adanya kooptasi politik antara kepala daerah dengan DPRD maupun sebaliknya perlu dijalankan melalui prinsip check and balances, artinya adanya keseimbangan serta merta adanya pengawasan terus-menerus terhadap kewenangan yang diberikannya. Dengan demikian anggota DPRD dapat dikatakan memiliki akuntabilitas, manakala memiliki "rasa tanggung jawab" dan "kemampuan" yang profesional dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut.
Mekanisme check and balances memberikan peluang eksekutif untuk mengontrol legislatif. Walaupun harus diakui oleh DPRD (legislatif) memiliki posisi politik yang sangat kokoh dan seringkali tidak memiliki akuntabilitas politik karena berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum yang dijalankan. Untuk itu ke depan perlu kiranya kepala daerah mempunyai keberanian untuk menolak suatu usulan dari DPRD terhadap kebijakan yang menyangkut kepentingannya, misalnya kenaikan gaji yang tidak masuk akal, permintaan tunjangan yang berlebihan, dan membebani anggaran daerah untuk kegiatan yang kurang penting. Mekanisme check and balances ini dapat meningkatkan hubungan eksekutif dan legislatif dalam mewujudkan kepentingan masyarakat.
DPRD sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai wakil rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena itu secara material mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang diwakilinya. DPRD sebagai wakil rakyat dalam tindakan dan perbuatan harus menyesuaikan dengan norma-norma yang dianut dan berlaku dalam kebudayaan rakyat yang diwakilinya. Dengan demikian DPRD tidak akan melakukan perbuatan yang tidak terpuji, menguntungkan pribadi dan membebani anggaran rakyat untuk kepentingannya. Dengan memahami etika pemerintahan diharapkan dapat mengurangi tindakan-tindakan yang tercela, tidak terpuji dan merugikan masyarakat.
Untuk itu perlu kiranya dibuatkan "kode etik" untuk para anggota DPRD yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan peran dan fungsinya, sehingga kewenangan yang besar juga disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Sosok ideal DPRD yang bermoral, aspiratif dengan kepentingan rakyat, dan selalu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Kuncinya baik eksekutif maupun legislatif harus terjalin komunikasi timbal balik dan adanya keterbukaan di antara para pihak dalam penyelesaian segala permasalahan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
Harapan-harapan tersebut dapat terwujud dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, yang akan memperkuat posisi kepala daerah sehingga dapat menjadi mitra yang baik bagi DPRD dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi. Peran dan fungsi DPRD akan terjadi perubahan yang cukup signifikan seiring dengan pengurangan kewenangan yang dimilikinya tersebut. Dengan adanya keseimbangan hak dan kewenangan tersebut antara eksekutif dan legislatif diharapkan korupsi yang marak terjadi di DPRD (legislatif) dapat berkurang seiring dengan pematangan demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Terwujudnya clean and good governance merupakan harapan masyarakat
Sumber            :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar