Pendahuluan
Runtuhnya Komunisme di Uni Sovyet dan Eropa Timur tahun 1980-an menjadi salah satu perubahan penting di dunia selama setengah abad ini. Dimana Negara-negara tersebut sebelumnya mempercayai bahwa perencanaan yang terpusat oleh Pemerintah dalam perekonomian adalah yang terbaik. Sehingga Pemerintahlah yang kemudian dipercaya untuk memutuskan barang dan jasa yang akan dihasilkan dan yang akan mengkonsumsinya di dalam perekonomian. Dimana hal ini didasarkan atas teori yang mengatakan bahwa pemerintah dapat mengorganisasikan suatu perekonomian agar kemakmuran suatu negara dapat tercapai.[1]
Inti dari ekonomi pasar adalah terjadinya desentralisasi keputusan berkaitan dengan ”apa”, ”berapa banyak”, dan ”cara” proses produksi. Setiap individu diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan. Hal ini juga berarti bahwa di dalam mekanisme ekonomi pasar terdapat cukup banyak individu yang independen baik dari sisi produsen maupun dari sisi konsumen.
Lebih lanjut pada ekonomi pasar bagi sebagian kalangan dipercaya dapat membawa perekonomian kearah yang lebih efesien, dimana sumber daya yang ada dalam perekonomian dapat termanfaatkan secara lebih optimal, dan juga tidak diperlukan adanya perencanaan dan pengawasan dari pihak manapun. Atau dengan kata lain ”serahkan saja semuanya kepada pasar,” dan suatu invisible hand yang nantinya akan membawa perekonomian kearah keseimbangan, dan dalam posisi keseimbangan, sumber daya yang ada dalam perekonomian dimanfaatkan secara lebih maksimal.
Kemudian hampir sebagian besar negara berkembang, pada dekade 1980-an dan 1990-an dengan kecepatan yang berbeda-beda, mulai bergerak menuju sistem perekonomian pasar. Meskipun kemungkinan sebagian negara tersebut melakukan hal itu atas anjuran Bank Dunia, yang sering menjadikannya syarat dalam pemberian bantuan-bantunannya. Dan tampaknya telah muncul semacam konsensus bahwa peran aktif pemerintah dalam perekonomian perlu dikurangi, dan pasar perlu diberikan keluluasaan lebih besar demi tumbuhnya perekonomian yang lebih efesien.
Selanjutnya sebagian besar negara berkembang berharap dengan mereka menerapkan perekonomian pasar, dan mulai mengurangi banyaknya campur tangan pemerintah, dapat lebih membawa mereka kearah kemajuan seperti yang dinikmati oleh negara-negara barat sekarang ini, yaitu kesejahteraan ekonomi.
Namun kenyataannya hal di atas tidak seperti yang semudah dibayangkan oleh negara-negara tersebut, karena efektifitas pasar memerlukan adanya dukungan institusional, kultural dan perangkat hukum tertentu, yang kebanyakan tidak atau belum dimiliki oleh negara-negara berkembang. Dibanyak negara berkembang, perangkat hukum dan institusionalnya, kalaupun ada masih sangat lemah guna mendukung beroperasinya ekonomi pasar secara efektif dan efesien. Tanpa adanya sistem hukum yang mapan, misalnya segala kontrak dan perjanjian bisnis hanya akan tinggal diatas kertas; hak cipta hanya sebuah buah bibir; dan kurs atau mata uangpun bisa berubah kapan saja. Dimana situasi kepastian hukum begitu minim, jelaslah bisnis tidak akan berkembang begitu baik.[1]
Belum lagi ternyata sesungguhnya perekonomian pasar jauh dari sempurna, dimana sulitnya mendapatkan informasi pasar yang mencukupi bagi konsumen maupun produsen mengenai harga, kuantitas, dan kualitas produk serta sumber, dan terkadang untuk mendapatkan suatu informasi diperlukan biaya yang tinggi, ditambah keberadaan skala ekonomi diberbagai sektor utama perekonomian menciptakan hambatan masuk (entry barrier) bagi pelaku usaha yang ingin berusaha pada sektor yang sama. Sehingga pada gilirannya hal diatas mengakibatkan alokasi sumber daya yang tidak tepat, dan hal ini merupakan yang tidak diharapkan oleh negara-negara tersebut ketika mereka mulai menerapkan ekonomi pasar di negara mereka.
Dan ketika negara-negara tersebut menerapkan perekonomian pasar sebagai sistem perekonomian mereka, ternyata yang didapatkan oleh mereka justru ketidak sempurnaan pasar (imperfect market), yang dikhawatirkan akan membawa negara-negara tersebut kearah jebakan keterbelakangan.
keseimbangan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ekonom kelembagaan (institutional economist).[1]
Selanjutnya pemikir ilmu ekonomi klasik dan neo klasik mengasumsikan dalam perekonomian ”tidak ada biaya transaksi” (zero transaction cost) dan rasionalitas instrumental (instrumental rationality). Dan implikasinya, setiap individu diandaikan bekerja hanya menurut insentif ekonomi, tanpa meperdulikan oleh beragam aspek, misalnya sosial budaya, politik, hukum, dan sebagainya. Dan bagi ekonom kelembagaan dianggap tidak relistis.[2]
Padahal kenyataannya menurut para ekonom kelembagaan kegiatan perkonomian sangat dipengaruhi oleh tata letak antar pelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/komunitas (terori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan), dan lain-lain. Intinya, selalu ada insentif bagi individu untuk berprilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan kelembagan non pasar untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan mendesain aturan main/kelembagaan (institutions). Pada level makro, kelembagaan tersebut berisi seperangkat aturan politik, sosial dan hukum yang memapankan kegiatan produksi, pertukaran dan distribusi. Dan pada level mikro, kelembagaan berisi masalah tata kelola aturan main agar pertukaran antar unit ekonomi dapat berlangsung, baik lewat cara kerjasama maupun kompetisi.[3]
informasi, kompetisi, sistem kontrak, dan proses jual beli dapat sangat asimetris. Inilah yang kemudian menimbulkan biaya transaksi[1] dan menyebabkan inefesiensi di dalam perekonomian.
Peranan Hukum Dalam Ekonomi Pasar
Indonesia juga mengalami seperti yang dialami oleh sebagian besar negara berkembang lainnya, meskipun tidak secara tegas pemerintah menyatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu ”penganut” sistem ekonomi pasar, sesungguhnya Indonesia sudah mulai menerapkan sitem ekonomi ini untuk memandu perekonomiannya, sejak terlibat dalam organisasi-organisasi perdagangan dunia baik secara regional maupun multilateral seperti GATT, AFTA, WTO, dan lain-lain.
Reorientasi sistem ekonomi ke arah ekonomi pasar juga sebenarnya telah dilakukan sejak diluncurkannya kebijaksanaan-kebijaksanaan deregulasi pada tahun 1983. Dimana kebijaksanaan deregulasi tersebut bertujuan untuk memperkuat berkerjanya ekonomi pasar di Indonesia. Dalam hal ini Pemerintah mulai mengarahkan pengalokasian segala sumber daya dan harga menurut keinginan dan kehendak pasar. Bahkan lebih jauh menurut Normin S. Pakpahan, selama tiga dasawarsa sejak Pelita I sesungguhnya Indonesia telah menyelenggarakan ekonomi pasar.
sistem ekonomi pasar malahan menyuburkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di dalam pasar, dan menyebabkan pasar menjadi semakin tidak efesien.
Merujuk pada pandangan aliran ekonomi neoklasik menganggap pasar berjalan secara sempurna tanpa biaya apapun (costless) karena pembeli (consumers) memiliki informasi yang sempurna dan penjual (producers) saling berkompetisi menghasilkan biaya yang rendah. Akan tetapi pada kenyataannya faktanya adalah sebaliknya, dimana informasi, kompetisi, sistem kontrak, dan proses jual beli dapat sangat asimetris.
Tidak berfungsinya sistem ekonomi pasar, juga disebabkan Indonesia sebelumnya tidak tersedia aturan main atau kelembagaan terlebih dahulu di dalam pasar, yang akan mengarahkan perilaku-perilaku pelaku ekonomi di dalam pasar, agar mereka tidak berperilaku menyimpang di dalam pasar, dengan berusaha menghindari terjadinya persaingan yang sehat di antara pelaku ekonomi, dengan maksud agar mereka dapat mengeksploitasi surplus konsumen sebanyak-banyaknya dan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.
Salah satu kelembagaan non pasar yang diharapkan dapat melindungi pasar agar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung adalah melalui adanya kelembagaan hukum ekonomi yang kuat. Ketiadaan kelembagaan hukum ekonomi yang kuat diduga sebagai penyebab ekonomi pasar tidak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak.
(stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.[1]
Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.[2] Dan yang tidak kalah penting, jika sedikit mengutip pendapat Prof. Charles Himawan bahwa adanya badan peradilan yang andal (reliable judiciary) juga sangat menentukan bagi proses hukum terhadap sengketa-sengkata bisnis yang dihadapi oleh pelaku ekonomi.[3]
Sedangkan kelembagaan hukum ekonomi yang ada pada waktu ketika Indonesia mulai menerapkan sistem ekonomi pasar, jika merujuk kepada pendapat dari Prof. Hikmahanto Juwana, telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada.[4] Sehingga perlu dilakukan penyesuaian kelembagaan hukum ekonomi yang ada agar dapat mendukung berkerjanya ekonomi pasar di Indonesia. Dan penyesuaian kelembagaan hukum ekonomi ini dilakukan dengan cara salah satunya melalui proses transplantasi hukum dari Amerika Serikat dan Eropa[5] ke dalam kelembagaan hukum ekonomi Indonesia.
Dengan proses transplantasi hukum ini diharapkan dapat membuat kelembagaan hukum ekonomi yang ada di Indonesia dapat menjadi lebih modern, dan dapat lebih mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masa kini yang terkait dengan aktifitas ekonomi yang belum bisa dipenuhi oleh kelembagaan hukum ekonomi yang ada di Indonesia.
Dan bila kita berbicara mengenai struktur institusi penegakkan hukum yang ada pada waktu ketika Indonesia mulai menerapkan ekonomi pasarnya, masih belum begitu bersahabat dengan pasar (market friendly) atau dapat diartikan struktur institusi penegakkan hukumnya belum dapat mendukung berjalannya aktfitas ekonomi secara baik. Hal ini dapat dilihat dari proses hukum yang berlarut-larut terhadap suatu kasus yang membuat hilangnya kepastian hukum dalam proses penegakkan hukum yang ada, belum lagi hasil dari proses penegakkan hukum yang ada belum bisa menjamin pihak yang benar yang akan menang. Dan hal inilah yang kemudian membuat institusi penegakkan hukum tidak bisa diharapkan terlalu banyak dapat menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi diantara pelaku ekonomi di dalam pasar dengan baik. Sehingga tidak heran kalangan pelaku ekonomi di Indonesia lebih memilih menyelesaikan sengketa bisnis mereka dengan menggunakan lembaga arbitrase dibandingkan mereka harus mempercayakan penyelesaian sengketa bisnisnya pada pengadilan di Indonesia.
Selanjutnya mengenai substansi hukum, masih merujuk kepada pendapat Friedman, adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem. Dan substansi juga bisa berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka hasilkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang.
Dan kemudian yang terjadi akibat Indonesia belum memiliki hukum persaingan usaha adalah sistem ekonomi pasar yang ada malahan menghasikan maraknya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di dalam pasar, dan pasar yang diharapkan dapat menghasilkan pemanfaatan sumberdaya yang lebih maksimal dan efesien yang terjadi justru sebaliknya, perekonomian Indonesia menjadi begitu tidak efesien dan kehilangan daya saingnya dengan negara lain.
Serta hukum kepailitan yang berlaku pada waktu itu yang masih merupakan warisan masa kolonial juga berkontribusi bagi tidak terlindunginya pelaku ekonomi dari perilaku pelaku ekonomi yang seharusnya tidak layak lagi menjalankan usahanya tetapi karena hukum kepailitan yang ada belum baik serta proses peneggakannya yang masih memakan waktu yang lama membuat banyak pelaku ekonomi menjadi korban akibat dari ulah sekelompok pelaku ekonomi yang seharusnya tidak layak lagi untuk melanjutkan usahanya di dalam pasar.
Lebih lanjut mengenai budaya hukum menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Atau dengan kata lain jika menurut pendapat Prof Achmad Ali, budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari dan disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, maka sistem hukum itu tidak berdaya
Dan belum terbangunnya budaya hukum yang baik juga cukup berkontribusi bagi tidak berfungsinya beberapa kelembagaan hukum yang ditransplantasi dari negara-negara maju di Indonesia, karena budaya hukum yang ada begitu berbeda dengan budaya hukum negara dimana kelembagaan hukum ekonomi yang ditransplantasi itu berasal.
Dan sedikit mengutip kalimat dari Prof. Satjipto Rahardjo bahwa ekonomi kurang dapat berkerja dan melakukan perencanaan dengan baik tanpa didukung oleh tatanan normatif yang berlaku, yang tidak lain adalah hukum.[1] atau dengan kata lain tanpa adanya dukungan yang kuat dari kelembagaan hukum ekononomi yang ada sudah barang tentu sistem ekonomi pasar yang dianut oleh Indonesia tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Penutup
Agar dapat ekonomi pasar Indonesia berjalan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu dapat membuat perekonomian Indonesia menjadi lebih efesien, sangat ditentukan oleh dukungan dari kelembagaan hukum ekonomi yang kuat. Tanpa adanya dukungan dari kelembagaan hukum ekonomi yang kuat sulit bagi ekonomi pasar dapat bejalan secara baik.
sumber: staff.ui.ac.id/internal/.../PaperPerananHukumDalamEkonomiPasar.doc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar